Oleh: KH. A. Mustofa Bisri
Karena bangsa ini berketuhanan Yang Maha Esa, maka ketika musibah-musibah beruntun menimpa negeri ini, banyak orang yang bertanya-tanya. Cobaankah ini, tegurankah,atau azab dari Tuhan? Ataukah ini hanya merupakan gejala alam yang biasa saja?
Lalu seperti biasa pendapat-pendapat pun dikemukakan dengan rata-rata meyakinkan.
Pendapat-pendapat itu tentu saja sesuai dengan sikap dan daya pikir serta keyakinan masing-masing.
Mereka yang biasa berpikir positif dan berhusnudzan, akan mengatakan bahwa musibah-musibah ini merupakan cobaan atau ujian dari Tuhan. Allah berfirman: "Ahasibannaasu an yutrakuu an yaquuluu aamannaa wahum laa yuftanuun. Walaqad fatannaa l-ladziina min qablihim falaya'lamanna l-ladziina shadaquu walaya'lamannaa l-kaadzibiin." (Q. 29: 2-3). "Apakah orang mengira akan dibiarkan cukup menyatakan kami beriman dan mereka tidak akan diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka dan mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta."
Di samping itu, ada hadits : "Man yuridillaahu khairan yushib minhu". Siapa yang dikehendaki Allah baik, Ia akan mencobanya. Jadi, musibah-musibah ini merupakan alamat baik bagi bangsa kita. Ibarat murid akan naik kelas, akan diuji dahulu.
Dengan husnudzan seperti ini, musibah-musibah yang beruntun justru melahirkan harapan-harapan akan datangnya kebaikan-kebaikan. Penyikapan yang disarankan pendapat ini ialah bersabar dan memperbaiki kinerja amal serta mendekatkan diri kepadaNya.
Ada yang berpendapat musibah-musibah ini merupakan teguran dari Allah. Bahkan teguran keras. Asumsinya: bangsa ini sudah keterlaluan melanggar angger-angger-Nya. Kemanusiaan yang dimuliakan Allah disia-siakan. Hukum yang menjadi penertib kehidupan tidak dihormati.
Keserakahan merajalela; hingga merampas hak-hak orang, melecehkan aturan, dan merusak alam, seolah-olah sudah menjadi budaya. Sementara agama yang seharusnya menjadi wasilah meraih ridha Allah, hanya dianggap sebagai semacam organisasi sosial-politik yang tidak jarang justru merusak kedamaian pergaulan hidup.
"Zhaharal fasaadu filbarri wal bahri bimaa kasabat aidinnaasi liyudziiqahum ba'dhal-ladzii 'amiluu la'allahum yarji'uun." (Q.30:41) Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat ulah tangan-tangan manusia, supaya Allah mencicipkan kepada mereka sebagian hasil perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar."
Maka karenanya, kita mesti melakukan muhasabah, mawas diri, memperbaiki kesalahan-kesalahan, dan meluruskan perilaku. Kembali ke jalan yang benar.
Mereka yang menganggap musibah-musibah itu merupakan azab, boleh jadi lantaran melihat kenyataan kaitannya dengan ayat dalam Quran, "Qul Hual Qaadiru 'alaa an yab'atsa 'alaikum adzaaban min fauqikum au min tahti arjulikum au yalbisakum syiyaa-'an wayudziiqa ba'dhakum ba'sa ba'dhin; unzhur kaifa nusharriful ayaati la'allahum yafqahuun." (Q.6: 65). "Katakan, Ialah Tuhan yang kuasa mengirim atas kalian azab dari atas kalian, atau dari bawah kaki-kaki kalian, atau mengacaukan kalian dalam kelompok-kelompok fanatik dan mencicipkan keganasan sebagian dari kalian kepada sebagian yang lain. Lihatlah bagaimana Kami mendatangkan silih berganti tanda-tanda kekuasaan Kami, agar mereka mengerti."
Kita menyaksikan apa yang menimpa bangsa ini, seolah menjadi tafsir dari ayat tersebut. Lihatlah. Dari atas: hujan deras yang mengakibatkan banjir, topan atau angin puting beliung, dsb. Dari bawah: tsunami, gempa bumi, tanah longsor, lumpur panas, dsb. Dan kehidupan sosial kemasyarakatan kita kacau oleh adanya kelompok-kelompok fanatik yang saling memperlihatkan keganasan masing-masing kepada yang lain.
Kalau pun kita menggunakan tafsir Ibn Abbas ra (bahwa azab dari atas, artinya yang diakibatkan oleh orang-orang atasan alias pemimpin dan dari bawah artinya yang diakibatkan oleh orang-orang bawahan alias rakyat), rasanya pun cocok dengan kondisi kita.
Bila musibah-musibah ini azab, semoga tidak, maka yang harus dilakukan terutama oleh umat Islam, adalah bersalawat -mencoba 'menghadirkan' Rasulullah SAW- dan beristighfar -memohon ampun kepada Allah. Kenapa? Karena menurut Quran yang dapat menolak azab Allah hanyalah kehadiran Rasulullah SAW dan istighfar ( Q. 8:33). Menurut mereka yang menganggap musibah-musibah itu merupakan gejala alam biasa, biasanya akan berbicara soal upaya peningkatan manajemen penanganan bencana dan pendidikan sadar bencana kepada masyarakat.
Waba'du; terlepas dari pendapat-pendapat orang tentang musibah-musibah beruntun yang menimpa negeri ini, sebagai pemilik negeri ini, kita tentu prihatin dan ingin agar musibah-musibah itu berhenti. Kita hargai semua pihak yang -sesuai dengan pendapat dan keyakinannya- melakukan upaya-upaya untuk itu. Mulai dari yang melakukan perbaikan diri; perbaikan kinerja; muhasabah; tobat,; meningkatkan managemen penanganan bencana; hingga 'sekadar' bersabar dan berdoa. Karena pihak-pihak itu berarti memiliki rasa tahu diri, tawaduk, memikirkan dan berbuat sesuatu untuk negerinya.
Ya, kita menghargai pihak-pihak itu katimbang mereka yang lagi-lagi hanya pamer kepintaran dengan menyalahkan pihak-pihak yang berupaya sesuai keyakinannya itu. Atau mereka yang sudah terbiasa dengan mencari kambing hitam, lalu mencari pihak-pihak yang dianggap mereka pembawa sial, sebagaimana orang-orangnya Firaun yang menganggap Nabi Musa sebagai pembawa sial.
Karena bangsa ini berketuhanan Yang Maha Esa, maka ketika musibah-musibah beruntun menimpa negeri ini, banyak orang yang bertanya-tanya. Cobaankah ini, tegurankah,atau azab dari Tuhan? Ataukah ini hanya merupakan gejala alam yang biasa saja?
Lalu seperti biasa pendapat-pendapat pun dikemukakan dengan rata-rata meyakinkan.
Pendapat-pendapat itu tentu saja sesuai dengan sikap dan daya pikir serta keyakinan masing-masing.
Mereka yang biasa berpikir positif dan berhusnudzan, akan mengatakan bahwa musibah-musibah ini merupakan cobaan atau ujian dari Tuhan. Allah berfirman: "Ahasibannaasu an yutrakuu an yaquuluu aamannaa wahum laa yuftanuun. Walaqad fatannaa l-ladziina min qablihim falaya'lamanna l-ladziina shadaquu walaya'lamannaa l-kaadzibiin." (Q. 29: 2-3). "Apakah orang mengira akan dibiarkan cukup menyatakan kami beriman dan mereka tidak akan diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka dan mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta."
Di samping itu, ada hadits : "Man yuridillaahu khairan yushib minhu". Siapa yang dikehendaki Allah baik, Ia akan mencobanya. Jadi, musibah-musibah ini merupakan alamat baik bagi bangsa kita. Ibarat murid akan naik kelas, akan diuji dahulu.
Dengan husnudzan seperti ini, musibah-musibah yang beruntun justru melahirkan harapan-harapan akan datangnya kebaikan-kebaikan. Penyikapan yang disarankan pendapat ini ialah bersabar dan memperbaiki kinerja amal serta mendekatkan diri kepadaNya.
Ada yang berpendapat musibah-musibah ini merupakan teguran dari Allah. Bahkan teguran keras. Asumsinya: bangsa ini sudah keterlaluan melanggar angger-angger-Nya. Kemanusiaan yang dimuliakan Allah disia-siakan. Hukum yang menjadi penertib kehidupan tidak dihormati.
Keserakahan merajalela; hingga merampas hak-hak orang, melecehkan aturan, dan merusak alam, seolah-olah sudah menjadi budaya. Sementara agama yang seharusnya menjadi wasilah meraih ridha Allah, hanya dianggap sebagai semacam organisasi sosial-politik yang tidak jarang justru merusak kedamaian pergaulan hidup.
"Zhaharal fasaadu filbarri wal bahri bimaa kasabat aidinnaasi liyudziiqahum ba'dhal-ladzii 'amiluu la'allahum yarji'uun." (Q.30:41) Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat ulah tangan-tangan manusia, supaya Allah mencicipkan kepada mereka sebagian hasil perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar."
Maka karenanya, kita mesti melakukan muhasabah, mawas diri, memperbaiki kesalahan-kesalahan, dan meluruskan perilaku. Kembali ke jalan yang benar.
Mereka yang menganggap musibah-musibah itu merupakan azab, boleh jadi lantaran melihat kenyataan kaitannya dengan ayat dalam Quran, "Qul Hual Qaadiru 'alaa an yab'atsa 'alaikum adzaaban min fauqikum au min tahti arjulikum au yalbisakum syiyaa-'an wayudziiqa ba'dhakum ba'sa ba'dhin; unzhur kaifa nusharriful ayaati la'allahum yafqahuun." (Q.6: 65). "Katakan, Ialah Tuhan yang kuasa mengirim atas kalian azab dari atas kalian, atau dari bawah kaki-kaki kalian, atau mengacaukan kalian dalam kelompok-kelompok fanatik dan mencicipkan keganasan sebagian dari kalian kepada sebagian yang lain. Lihatlah bagaimana Kami mendatangkan silih berganti tanda-tanda kekuasaan Kami, agar mereka mengerti."
Kita menyaksikan apa yang menimpa bangsa ini, seolah menjadi tafsir dari ayat tersebut. Lihatlah. Dari atas: hujan deras yang mengakibatkan banjir, topan atau angin puting beliung, dsb. Dari bawah: tsunami, gempa bumi, tanah longsor, lumpur panas, dsb. Dan kehidupan sosial kemasyarakatan kita kacau oleh adanya kelompok-kelompok fanatik yang saling memperlihatkan keganasan masing-masing kepada yang lain.
Kalau pun kita menggunakan tafsir Ibn Abbas ra (bahwa azab dari atas, artinya yang diakibatkan oleh orang-orang atasan alias pemimpin dan dari bawah artinya yang diakibatkan oleh orang-orang bawahan alias rakyat), rasanya pun cocok dengan kondisi kita.
Bila musibah-musibah ini azab, semoga tidak, maka yang harus dilakukan terutama oleh umat Islam, adalah bersalawat -mencoba 'menghadirkan' Rasulullah SAW- dan beristighfar -memohon ampun kepada Allah. Kenapa? Karena menurut Quran yang dapat menolak azab Allah hanyalah kehadiran Rasulullah SAW dan istighfar ( Q. 8:33). Menurut mereka yang menganggap musibah-musibah itu merupakan gejala alam biasa, biasanya akan berbicara soal upaya peningkatan manajemen penanganan bencana dan pendidikan sadar bencana kepada masyarakat.
Waba'du; terlepas dari pendapat-pendapat orang tentang musibah-musibah beruntun yang menimpa negeri ini, sebagai pemilik negeri ini, kita tentu prihatin dan ingin agar musibah-musibah itu berhenti. Kita hargai semua pihak yang -sesuai dengan pendapat dan keyakinannya- melakukan upaya-upaya untuk itu. Mulai dari yang melakukan perbaikan diri; perbaikan kinerja; muhasabah; tobat,; meningkatkan managemen penanganan bencana; hingga 'sekadar' bersabar dan berdoa. Karena pihak-pihak itu berarti memiliki rasa tahu diri, tawaduk, memikirkan dan berbuat sesuatu untuk negerinya.
Ya, kita menghargai pihak-pihak itu katimbang mereka yang lagi-lagi hanya pamer kepintaran dengan menyalahkan pihak-pihak yang berupaya sesuai keyakinannya itu. Atau mereka yang sudah terbiasa dengan mencari kambing hitam, lalu mencari pihak-pihak yang dianggap mereka pembawa sial, sebagaimana orang-orangnya Firaun yang menganggap Nabi Musa sebagai pembawa sial.
* diambil dari http://www.gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=2&id=656
0 komentar to ~ Menyikapi Musibah ~ :
Posting Komentar